JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD selaku Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU) menegaskan Komite TPPU akan mengejar lagi kasus dugaan TPPU di Bea Cukai terkait impor emas dengan nilai transaksi agregat sekira Rp189 triliun.
Mahfud mengatakan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dengan nilai transaksi agregat senilai sekira Rp 189 triliun yang disampaikannya di Komisi III DPR pada 29 Maret 2023 dan dijelaskan Menteri Keuangan di Komisi XI DPR tanggal 27 Maret 2023 tersebut telah dilakukan langkah hukum terhadap Tindak Pidana Asal dan TPPU-nya.
Langkah hukum tersebut, kata Mahfud, telah menghasilkan putusan pengadilan hingga Peninjauan Kembali (PK).
“Namun Komite memutuskan untuk tetap melakukan tindak lanjut termasuk hal-hal yang selama ini belum masuk ke dalam proses hukum (case building) oleh Kementerian Keuangan,” kata Mahfud MD usai memimpin rapat Komite TPPU di kantor PPATK Jakarta pada Senin (10/4/2023).
Diberitakan Kompas.com sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengungkapkan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) senilai Rp 189 triliun di Direktorat Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu).https://www.youtube.com/embed/3B187R0lqdA
Ia mengatakan, dugaan pencucian uang itu terkait impor emas batangan ke Indonesia.
“Impor emas batangan yang mahal-mahal itu, tapi di dalam surat cukainya itu dibilang emas mentah. Diperiksa oleh PPATK, diselidiki, ‘Mana kamu kan emasnya sudah jadi kok bilang emas mentah?’,” sebut Mahfud dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (29/3/2023).
Dalam proses penyelidikan, lanjut Mahfud, pihak bea cukai sempat berdalih bahwa impor yang dilakukan bukan emas batangan, tetapi emas murni.
Kemudian, emas murni tersebut dicetak melalui berbagai perusahaan di Surabaya, Jawa Timur.
Tapi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tidak menemukan keberadaan perusahaan yang dimaksud.
“Dicari di Surabaya tidak ada pabriknya,” ujar Mahfud. Ia menyatakan dugaan pencucian uang itu pernah diserahkan ke Kemenkeu oleh PPATK pada tahun 2017.
Kala itu Laporan kejanggalan transaksi keuangan itu langsung diberikan melalui Dirjen Bea Cukai, dan Irjen Kemenkeu bersama dua orang lain.
Tapi, tutur Mahfud, hingga tahun 2020 laporan tak pernah ditindaklanjuti oleh Kemenkeu.
Maka, dugaan pencucian uang itu baru diketahui Sri Mulyani saat bertemu PPATK pada 14 Maret 2022.
Itu pun, data yang sampai ke Sri Mulyani adalah soal pelanggaran pajak perusahaan, bukan dugaan pencucian uang di Direktorat Bea Cukai. “Sehingga ketika diteliti (pihak Kemenkeu) ‘Oh ini perusahaannya banyak hartanya, pajaknya kurang,’. Padahal ini (dugaan pencucian uang) cukai laporannya,” pungkasnya.
Sumber: Tribun Bisnis