Saturday, July 27, 2024
HomeBeritaCatatan Kritis untuk Menkes: JKN Hak Seluruh Bangsa Indonesia

Catatan Kritis untuk Menkes: JKN Hak Seluruh Bangsa Indonesia


Dalam sebuah pemberitaan media, Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan kebijakan BPJS Kesehatan berdasarkan kelas 1, 2, 3 yang ada saat ini menyalahi prinsip asuransi kesehatan nasional. Harusnya semua masyarakat mendapatkan fasilitas yang sama tanpa membedakan golongan ekonomi.
Selain itu, Pak Menkes pun berkomentar bahwa perbedaan kelas itu membuat ada masyarakat yang mendapatkan layanan VVIP menggunakan BPJS Kesehatan. Menurut Pak Menkes, itu sama saja iuran dari orang yang tidak mampu disumbangkan kepada yang mampu.

Pernyataan Pak Menkes ini sepertinya mau mengatakan Presiden Joko Widodo yang selama ini menandatangani Peraturan Presiden tentang JKN sudah menyalahi prinsip asuransi Kesehatan nasional. Selama ini Perpres tentang JKN yaitu Perpres Nomor 12/2013 jo. Perpres No. 111 tahun 2013 jo. Perpres No. 19 Tahun 2016 yang diubah menjadi Perpres No. 82 Tahun 2018 jo. Perpres No. 75 Tahun 2019 jo. Perpres No. 64 tahun 2020 yang mengatur tentang Pelayanan Kesehatan Berdasarkan Kelas Perawatan 1, 2 dan 3.

Pelayanan Kesehatan dalam Program JKN yang diatur dalam Perpres-perpres tersebut tidak membedakan pelayanan medis bagi seluruh peserta, namun memang ada pembagian kelas perawatan berdasarkan ruang perawatan yang merupakan pelayanan non-medis.

Pelaksanaan jaminan sosial di UU SJSN dan UU BPJS didasarkan pada 9 prinsip yaitu kegotong-royongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta JKN. Dari 9 prinsip tersebut, menurut saya, tidak ada yang dilanggar dalam pelaksanaan Program JKN yang sudah di tahun kesepuluh saat ini.

Saya berharap Pak Menkes bisa menjelaskan dalilnya dengan pendekatan 9 prinsip tersebut bahwa kebijakan BPJS Kesehatan berdasarkan kelas 1, 2, dan 3 yang ada saat ini menyalahi prinsip asuransi kesehatan nasional.

Regulasi tentang JKN memposisikan seluruh peserta JKN mendapatkan pelayanan medis yang sama, dan selama saya menangani kasus-kasus di Program JKN, tidak ada peserta yang mengeluh dan merasa didiskriminasi atau mendapat ketidakadilan karena adanya pembagian kelas perawatan 1, 2 dan 3.

Yang selama ini menjadi keluhan masyarakat peserta JKN adalah akses terhadap rumah sakit, khususnya akses untuk rawat inap. Hingga di tahun kesepuluh penyelenggaraan JKN, masih ada keluhan peserta JKN yang sulit mendapatkan ruang perawatan dengan penjaminan JKN sehingga dengan terpaksa harus menjadi pasien umum. Demikian juga masih ada peserta JKN yang harus menanti untuk operasi dan dipulangkan dalam kondisi belum layak pulang, harus membeli obat sendiri, dan sebagainya.

Menurut saya, yang lebih penting saat ini adalah bagaimana Kementerian Kesehatan bisa mengatasi masalah-masalah yang ada saat ini, sehingga akses peserta JKN terhadap ruang perawatan semakin mudah diperoleh, bukan malah membuat Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) dengan satu ruang perawatan.

Masalah akses ruang perawatan, tidak lepas dari sisi jumlah tempat tidur (TT) di RS yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. KRIS telah diuji coba pada 10 rumah sakit milik pemerintah dan swasta, dan hasil uji coba ini sudah dipresentasikan Pak Menkes di Komisi IX DPR RI tanggal 13 Februari 2023 lalu. Jumlah TT yang akan disediakan RS dengan KRIS satu ruang perawatan, berpotensi menurun. Hal ini terbukti pada presentasi Pak Menkes yang menyatakan dari 10 RS yang diuji coba, 7 RS mengalami penurunan jumlah TT sementara 3 RS swasta yaitu RS Santoso Centra, RS Awal Bros dan RS Ananda Babelan jumlah TT tidak berubah.

Selain itu potensi menurunnya jumlah TT bagi peserta JKN juga karena pelaksanaan KRIS diatur di Pasal 18 PP No. 47 tahun 2021 yang menyatakan jumlah TT rawat inap untuk pelayanan rawat inap kelas standar paling sedikit 60 persen dari seluruh tempat tidur untuk rumah sakit milik pemerintah pusat dan pemerintah daerah; dan 40 persen dari seluruh tempat tidur untuk rumah sakit milik swasta.

Di saat ini kelas perawatan 1, 2, dan 3 semuanya diabdikan bagi peserta JKN, namun dengan adanya Pasal 18 PP No. 47 tersebut maka bisa saja nantinya RS pemerintah hanya mengalokasikan 70 persen TT (karena paling sedikit 60 persen) dan RS swasta hanya mengalokasikan 60 persen TT (paling sedikit 40 persen) untuk peserta JKN. Selebihnya dialokasikan untuk pasien umum.

Dengan menurunkan jumlah TT bagi pasien JKN akan terjadi persoalan lebih besar lagi. Hal ini yang harus diperhatikan Pak Menkes. Saya khawatir KRIS menyebabkan pasien JKN akan semakin kecewa karena lebih sulit mengakses ruang perawatan. Ini akan menciptakan ketidakpuasan pasien semakin besar. Dampaknya tingkat tunggakan iuran akan semakin tinggi.

Masalah lain yang ditimbulkan KRIS dengan satu ruang perawatan adalah penetapan iuran untuk kelas mandiri. Dengan adanya KRIS maka iuran kelas 1, 2, dan 3 peserta mandiri akan jadi satu iuran. Dan iuran tunggal tersebut pastinya di atas Rp 42.000 yang akan menyebabkan peserta mandiri kelas 3 akan lebih sulit membayar iuran beserta keluarganya.

Pelaksanaan KRIS satu ruang perawatan berpotensi menurunnya pendapatan iuran peserta, yang berdampak terjadinya defisit pembiayaan JKN.

Untuk RS, tentunya dengan KRIS satu ruang perawatan akan membuat RS harus melakukan renovasi ruang perawatannya dari 3 kelas menjadi 1 kelas untuk bisa memenuhi 12 kriteria KRIS, dan ini akan membutuhkan dana renovasi. Tidak semua RS memiliki dana segar untuk melakukan renovasi ruang perawatan. Bila tidak bisa memenuhi 12 kriteria KRIS maka berpotensi tidak bekerjasama lagi dengan BPJS Kesehatan. Ini pun akan mengurangi jumlah TT yang bisa diakses pasien JKN.

Terkait dengan pernyataan Pak Menkes tentang masyarakat yang mendapatkan layanan VVIP menggunakan BPJS Kesehatan, saya menilai Pak Menkes tidak paham dengan konsep selisih biaya yang diatur di Peraturan Menteri Kesehatan No. 51 Tahun 2018 yang juga dilegitimasi di UU Kesehatan yang baru disahkan.

Tentunya peserta yang naik kelas perawatan akan membayar selisih biayanya sendiri, atau menggunakan asuransi swasta. Sementara BPJS Kesehatan hanya membayar sesuai kelas perawatan yang menjadi haknya.

Pelaksanaan KRIS berpotensi menimbulkan masalah yang lebih besar lagi baik bagi peserta, RS maupun BPJS Kesehatan. Saya berharap Pemerintah menerapkan KRIS dengan menstandarisasi kelas perawatan 1,2, dan 3 yaitu kelas 1 maksimal 2 TT, kelas 2 maksimal 3 TT, dan kelas 3 maksimal 4 TT.

Pak Menkes seharusnya fokus membenahi masalah-masalah yang ada saat ini saja, bukan malah membuat regulasi yang akan menimbulkan masalah lebih besar.

Sumber: Detik

RELATED ARTICLES

TRANSLATE

- Advertisment -

Most Popular