Sunday, October 13, 2024
HomeBeritaPengamat Nilai Kehadiran Bank Konvensional ke Aceh Patut Dipertimbangkan Lagi

Pengamat Nilai Kehadiran Bank Konvensional ke Aceh Patut Dipertimbangkan Lagi


Pengamat ekonomi  Aceh  Rustam Effendi menilai kehadiran bank konvensional di  Aceh patut dipertimbangkan kembali mengingat tantangan ekonomi  Aceh saat ini sangat besar.

“Pandangan ini bukan mengada-ada. Semua pihak di  Aceh harus realistis dengan kondisi  Aceh yang terkesan sangat kritis,” kata Rustam menjawab Serambinews.com, Minggu (16/7/2023) terkait polemik kehadiran bank konvensional di  Aceh.

Rustam menilai selama ini pemuka agama termasuk akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry kurang paham tentang sistem ekonomi bekerja. Mereka juga tidak sadari bagaimana merajalelanya pinjaman online (pinjol) atau bank 47 sekarang.

“Apakah ini mereka tidak sadari? Mestinya, tidak boleh ( Pemerintah Aceh) mengamputasi sebuah sistem ekonomi, pasti akan berdampak buruk,” ungkap Dosen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala (USK) ini.

Rustam kemudian memaparkan data terkait tantangan ekonomi  Aceh. Saat ini, kontribusi ekonomi  Aceh relatif kecil dan laju pertumbuhan ekonomi secara rata-rata masih di bawah laju pertumbuhan Sumatera dan nasional.

Pada triwulan I 2023, laju pertumbuhan ekonomi  Aceh di Sumatera berada di peringkat delapan dari 10 provinsi dengan nilai 4,9 persen. Sedangkan tingkat pengangguran terbuka sampai Februari 2023 mencapai 5,75 % .

Begitu juga dengan persentase penduduk miskin  Aceh, masih sama dengan 20 tahun lalu. “Persentase penduduk miskin  Aceh pada tahun 2021 nyaris sama angkanya dengan persentase penduduk miskin pada tahun 2000,” ungkapnya.

Ia memaparkan, kebutuhan investasi  Aceh sangat besar saat ini, tetapi kemampuan untuk memenuhinya masih sangat kecil, sehingga dipastikan akan sulit mampu memenuhi penyediaan lapangan kerja. Sementara jumlah tenaga kerja terus meningkat dari tahun ke tahun.

Menurut Rustam, tantangan besar yang dihadapi  Aceh ke depan perlu menjadi pertimbangan para pihak di daerah ini. Setidaknya, ada dua persoalan krusial yang akan timbul jika pertumbuhan ekonomi daerah tidak mampu dipacu.

Yaitu, pertama, tingkat pengangguran akan tetap tinggi akibat terbatasnya lapangan pekerjaan. Kedua, persentase penduduk miskin tetap tinggi akibat ketiadaan pekerjaan dan sumber pendapatan baru.  

“Soal pengangguran terbuka dan angka kemiskinan terkesan tidak ada solusi yang berarti hingga kini. Pengangguran tidak bisa dianggap remeh. Ini terkait sekali dengan peluang kerja yang mampu kita sediakan di  Aceh hingga kini belum ada jalan keluar,” terang dia.

Rustam menilai pertumbuhan ekonomi yang rata-rata tergolong rendah (di bawah 5 persen) dan hampir selalu berada di bawah angka rata-rata Sumatera dan nasional menjadi penyebab utama daerah ini tidak mampu menyediakan lapangan kerja bagi warganya.

“Ujungnya pasti berimbas pada kemampuan kita mengatasi persoalan kemiskinan. Menurut saya, adalah kurang tepat jika  Aceh mengisolasi ekonomi daerahnya di saat wilayah lain membuka diri untuk membangun ekonominya. Lalu dengan Qanun LKS kita isolasi lagi ekonomi daerah kita. Mau jadi apa?” tegasnya.

Pengamat ekonomi  Aceh ini menyatakan, kehadiran bank konvensional di  Aceh adalah sebuah keniscayaan. “Sudah ekonomi kita kecil lalu kita isolasi, dan celakanya kita bergantung lagi pada Bank Syariah yang secara nasional, kontribusinya juga masih rendah,” terangnya.

Ia menyebut tidak mungkin ekonomi Aceh hanya bergerak dalam skala yang kecil terus menerus.  Ekonomi Aceh tidak boleh lagi bertransaksi dengan uang “receh”. Jika ini terus berlanjut, sambung Rustam, Aceh akan hadapi tingkat pengangguran yang tinggi.

“Ini akan jadi bom waktu yang sangat tidak baik. Ingat, kita ingin  Aceh ini makmur. Untuk itu beri ruang gerak yang lebih luas kepada mereka para pelaku usaha. Selama ini ekonomi  Aceh hanya bergantung pada dahan yang kecil, ekonomi uang receh. Bagaimana bisa maju?” ungkap dia.

Jika memang bank konvensional terkesan berbunga tinggi dan ada unsur riba, Rustam mengatakan bahwa Aceh dapat gunakan Pasal 196 ayat 2 yang berbunyi  Pemerintah Aceh dapat menetapkan suku bunga. Sehingga tidak ada alasan untuk menghambat kehadiran bank konvensional di Aceh.

“Kasian anak-anak kita alumni USK, UTU, Unimal, dan lain-lain, mereka mau ke mana (setelah selesai kuliah)? Ini yang tidak dipikirkan oleh mereka (para elite  Aceh). Mereka hanya bicara “langit”,” tukas Rustam geram.

“Apakah kita tidak peduli dengan masa depan Sabang yang sudah komit untuk kita jadikan sebagai pelabuhan bebas? Bukankah itu butuh mitra internasional (ekspor impor) yang pasti dengan perbankan global? Bagaimana pula dengan pelaku UMKM yang sangat butuh akses pembiayaan?”

Sumber: Tribun Aceh

RELATED ARTICLES

TRANSLATE

- Advertisment -

Most Popular