Saturday, July 27, 2024
HomeBeritaOrang Ini Ajak RI Protes ke AS, Ada Apa?

Orang Ini Ajak RI Protes ke AS, Ada Apa?


Tingginya suku bunga bank sentral AS atau The Fed menjadi sorotan ekonom Amerika Serikat peraih penghargaan nobel di bidang ekonomi Joseph Stiglitz. Ia pun mengajak Indonesia dan negara-negara lain meminta agar kebijakan suku bunga tersebut dikoreksi.

Stiglitz mengatakan, ini penting karena IMF dan World Bank mendasari suku bunga pinjamannya untuk membantu negara-negara lain dengan mengacu pada suku bunga The Fed. Bila terus menerus tinggi seperti saat ini, bunga pinjaman IMF dan World Bank tentu hanya akan mencekik negara-negara yang menjadi pasien mereka.

“IMF didirikan untuk membantu perekonomian negara-negara yang kesulitan, bukan untuk membuat mereka semakin sulit,” ucap Stiglitz dalam program Money Talks CNBC Indonesia dikutip Selasa (12/9/2023).

“Maka dari itu, komunitas global, negara-negara berkembang, Indonesia, dan negara lainnya harus menemui Bank Dunia dan IMF. Lalu mengatakan kepada mereka untuk mengubah kebijakan The Fed,” tegasnya.

Apalagi, Stiglitz menganggap, kenaikan cepat suku bunga Fed Fund Rate dan sangat tinggi merupakan dampak dari salah diagnosanya The Fed terhadap inflasi yang tinggi. Ia menganggap The Fed hanya meyakini bahwa inflasi tinggi disebabkan agregat demand yang kuat, padahal saat ini disebabkan masalah pasokan.

“Menaikkannya terlalu cepat, dan terlalu jauh, menunjukkan kesalahan diagnosa. Mereka meyakini bahwa inflasi ini hasil dari agregat demand yang kuat, padahal tidak. Inflasi saat ini merupakan dampak permasalahan sisi supply yang terganggu akibat Pandemi Covid-19 dan perang di Ukraina,” tutur Stiglitz.

Stiglitz tak salah mengajak Indonesia mendorong IMF dan World Bank mengoreksi kebijakan The Fed, sebab Indonesia mampu mengendalikan inflasi hingga kembali ke level 3% atau kisaran 4%-2% dengan penerapan bauran kebijakan untuk menjaga pasokan barang sambil menjaga daya beli masyarakat.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo secara blak-blakan telah menceritakan bagaimana jajarannya memilih cara sendiri dalam mengatasi inflasi. Cara ini bertolak belakang dari pendekatan global, termasuk Dana Moneter Internasional (IMF).

Saat itu, inflasi dunia melonjak naik. Hal ini dipicu oleh pandemi yang melandai dan perang Rusia dan Ukraina yang menghambat rantai pasok sehingga mengerek harga bahan pangan dan lainnya.

Di tengah tantangan ini, alih-alih mengikuti saran IMF, Bank Indonesia (BI) memilih untuk mempelajari struktur penyebab inflasi, sehingga kebijakannya bukanlah pada sisi moneter.

“Kami tidak peduli dengan apa yang dikatakan IMF. Kami berterima kasih atas sarannya,” ungkap Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo di sela-sela pertemuan ASEAN Finance Ministers and Central Bank Governos Meeting (AFMGM), di Senayan, Jakarta, dikutip Rabu (23/8/2023).

“Anda mungkin dianggap lebih pintar tetapi kami lebih berpengalaman,” tegasnya.

Menurut BI, pilihan untuk meredamnya lewat suku bunga acuan akan membuat pertumbuhan ekonomi kembali melambat. Perry pun mencontohkan kasus di Amerika Serikat (AS) dan Eropa. AS berjuang hanya menggunakan satu instrumen hanya suku bunga untuk melawan inflasi.

“Nyatanya, butuh waktu sangat lama dan sekarang ekonominya resesi. Eropa pun sama, inflasi tinggi sangat tinggi,” ungkap Perry.

Oleh sebab itu, Perry pun gencar menyuarakan pentingnya bauran kebijakan ketimbang hanya fokus pada satu kebijakan, yakni suku bunga acuan untuk meredam inflasi. Bauran kebijakan dapat ditempuh dengan menjalin sinergi dengan kementerian atau lembaga lain di pemerintahan.

“Jadi inilah apa yang ada dalam buku saya, kita memiliki kebijakan moneter, impossible trinity, price stability and growth. Kami memiliki kerangka target inflasi terbaik pada masa lalu, dan kami melengkapinya dengan stabilitas nilai tukar rupiah,” papar Perry.

Sumber: CNBC Indonesia

RELATED ARTICLES

TRANSLATE

- Advertisment -

Most Popular