Wednesday, October 16, 2024
HomeEconomyDiganggu AS & UE, Jalan Terjal Proyek Jokowi Tiada Habisnya!

Diganggu AS & UE, Jalan Terjal Proyek Jokowi Tiada Habisnya!

Sebagaimana kita ketahui, jelang berakhirnya masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokwoi) marak kita dengar kalimat hilirisasi. Bukan tanpa alasan., ini merupakan proyek kebanggaan Jokowi untuk membuat negara kita ‘mandiri’ agar bisa menggenjot nilai tambah dari komoditas andalan Tanah Air.

Sebagaimana diketahui, dengan hilirisasi misalnya saja komoditas nikel mentah bisa berubah menjadi komoditas barang jadi seperti iron steel, baterai untuk kendaraan listrik dan lainnya.

Namun, jalan terjal yang dihadapi pemerintah kian sulit. Presiden Jokowi ini kerap menemui jalan terjal dari sikap negara-negara barat, seperti Uni Eropa dan juga Amerika Serikat (AS). Belum selesai ‘Pengucilan’ nikel RI, kini Iron Steel juga kena yakni terancam tidak dapat anti dumpling sampai anti subsidi. Mampukah Indonesia melawan negara-negara maju ini?

Serangkaian Jalan Terjal Untuk Komoditas Nikel Indonesia

Komoditas nikel ini banyak cobaannya. Kita coba flasback sedikit, seiring dengan banyaknya negara yang membutuhkan nikel, Pada 2021 Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mulai menggencarkan program hilirisasi industri untuk meningkatkan nilai tambah dari bijih nikel.

Pemerintah Indonesia juga sudah meluncurkan program pengembangan baterai untuk kebutuhan kendaraan listrik (electric vehicle).

Komitmen dan dukungan Presiden Jokowi dibuktikan dengan telah dilakukannyagroundbreakingpembangunan pabrik baterai untuk kendaraan listrik milik PT. HKML Battery Indonesia pada 15 September 2021.

Tak hanya di Indonesia, pabrik baterai yang berlokasi di Kompleks Karawang New Industrial City, Kabupaten Karawang tersebut juga merupakan pabrik baterai kendaraan listrik pertama yang ada di Asia Tenggara.

Namun realitanya tak berjalan mulus. Kebijakan hilirisasi pertambangan nikel mendapatkan pengajuan gugatan di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) oleh Uni Eropa (UE). Dalam gugatan ini, hilirisasi nikel Indonesia dinyatakan kalah.

Namun Indonesia tak gentar. Sejak dinyatakan kalah, pemerintah langsung mengajukan banding atas gugatan Uni Eropa di WTO itu. “Digugat di WTO, terus, kalah tetap terus, karena inilah yang akan melompatkan negara berkembang jadi negara maju, apalagi negara kita. Jangan berpikir negara kita akan jadi negara maju kalau kita takut menghilirkan bahan-bahan mentah yang ada di negara kita,” tegas Presiden Jokowi beberapa waktu yang lalu.

Wajar saja, Nikel merupakan ‘harta karun’ ajaib di Tanah Air lantaran menjadi salah satu bahan baku penting untuk mewujudkan cita-cita Indonesia menjadi ‘raja’ baterai dunia.

Uni Eropa telah menggugat RI di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 2020 lalu. Hasilnya, RI pun dinyatakan kalah oleh panel Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/ DSB) WTO pada Oktober 2022 lalu.

Indonesia merupakan salah satu produsen nikel terbesar di dunia dan tengah berambisi menjadi ‘raja EV’ global di tengah melonjaknya permintaan akan gawai dan kendaraan listrik. Nikel merupakan komponen penting dalam mendukung ambisi ini.

Berdasarkan data Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) pada tahun 2022 produksi nikel di Indonesia masih menduduki peringkat pertama dengan produksi paling unggul yakni mencapai 1,6 juta metrik ton.

Hingga kini persoalan WTO ini masih melanjutkan perjuangan. Hingga saat ini, Indonesia dan Uni Eropa masih menunggu terbentuknya hakim oleh Badan Banding WTO yang saat ini belum ada karena terdapat blokade pemilihan Badan Banding oleh salah satu Anggota WTO (Amerika Serikat).

Dengan adanya blokade tersebut, maka segala sesuatu menjadi tertunda. Setidaknya ada 25 kasus banding yang menunggu di proses oleh Badan Banding WTO.

Kendati demikian, ini sebagai waktu bagi pemerintah dan kuasa hukum telah menyiapkan argumen untuk menguji keputusan panel awal yang dianggap keliru dalam menginterpretasikan aturan WTO.

Nikel RI Dikucilkan Amerika

Sebagaimana diketahui, hasil produk nikel RI dikucilkan Amerika Serikat (AS). Dikucilkan dalam arti tidak masuk dalam rencana pembuatan Undang-undang (UU) pengurangan inflasi atau Inflation Reduction Act (IRA). Produk nikel RI yang sudah dihilirisasi masih dinilai kurang hijau.

Melalui undang-undang baru IRA, AS diketahui bakal memberikan kredit pajak atas pembelian mobil listrik. Undang-undang ini mencakup US$ 370 miliar dalam subsidi untuk teknologi energi bersih.

Namun, baterai yang mengandung komponen sumber Indonesia dikhawatirkan tetap tidak memenuhi syarat untuk kredit pajakInflation Reduction Rate (IRA) secara penuh. AlasannyaAS menilai bahwa Indonesia belum memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan AS dan dominasi perusahaan China dalam industri nikel.

Padahal AS menempati urutan terakhir sebagai penghasil nikel terbesar di dunia yakni hanya 18 ribu metrik ton. Dibandingkan dengan Indonesia, tentu masih kalah jauh.

Selain unggul sebagai produsen, Indonesia tercatat sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia pada 2022 yakni mencapai 21 juta metrik ton. Posisinya setara dengan Australia. Ada pula Brasil sebagai pemilik cadangan nikel terbesar dunia berikutnya sebanyak 16 juta metrik ton.

Inilah yang menyebabkan Menko Marves Luhut menyatakan bahwa berkenaan dengan IRA memang lebih menarik dari pada harga-harga lain seperti harga gas. Namun, Luhut menyatakan jika AS tidak segera menjalin kerja sama dengan Indonesia atau Free Trade Agreement (FTA) maka yang akan rugi adalah pihak AS itu sendiri.

Sejauh ini, konsumen nikel terbesar adalah negara China. Mengacu data Statista, permintaan nikel China pada tahun 2020 lalu mencapai 1,31 juta ton. Sementara permintaan nikel global yang pada tahun lalu mencapai 2,78 juta ton, seperti ditulis menurut International Nickel Study Group (INSG), diperkirakan akan meningkat menjadi 3,02 juta ton tahun ini.

Namun demikian, Amerika Serikat merupakan salah satu konsumen nikel terbesar di dunia, Menurut data USGS konsumsi timah AS pada 2021 sebesar 210.000 ton atau sekitar 7% dari total konsumsi dunia.

Iron Steel Juga Kena ‘Jegal’

Hilirisasi nikel Indonesia yakni iron steel terkena ‘jegal’ lewat kebijakantrade barrierUni Eropa (UE), dampaknya adalah iron steel RI itu tidak mendapatkan anti dumping dan anti subsidi.

Meski kita percaya diri dengan apa yang Indonesia miliki, tetapi ini tantangan yang utama ya, yang harus kita hadapi saat ini misalnya produk hilirisasi dikenakan trade remedies seperti itu. Ini akan jadi isu yang besar ya karena barang kita jadi tidak kompetitif di pasar internasional.

Seperti diketahui, berdasarkan situs resmi WTO, Indonesia terpantau mengajukan komplain atas anti dumping produk hasil hilirisasi nikel di Uni Eropa sejak 23 Januari 2023.

“Pada tanggal 24 Januari 2023, Indonesia meminta konsultasi dengan Uni Eropa sehubungan dengan langkah-langkah countervailing dan anti-dumping yang diberlakukan oleh Uni Eropa terhadap impor produk flat cold-rolled stainless steel dari Indonesia,” tulis WTO.

Luhut menyampaikan, bahwa ekspor nikel ke negara Eropa termasuk AS hanya 1%, sementara 99%-nya di ekspor ke China. “Kalau anda tidak setuju, saya bilang ke White House,its okay,kita buka 99% ke China, tapi Mereka bilang jangan tapi mereka punya Inflation Reduction Rate,” terang Luhut, Jumat (9/6/2023).

Selain Pertambangan, Kini Pertanian Kena Getah Juga

Undang-undang (UU) anti deforestasi Uni Eropa (UE) yang menyasar produk sawit Indonesia telah membuat pengusaha di Benua Biru khawatir. Beberapa mengatakan mereka bahkan dapat tersingkir dari pasar.

UE pada Desember lalu menyetujui UU baru itu untuk mencegah perusahaan menjual kopi, daging sapi, kedelai, karet, minyak sawit, dan komoditas lain yang terkait dengan deforestasi.

Perusahaan harus membuktikan bahwa rantai pasokan mereka tidak berkontribusi pada perusakan hutan atau didenda hingga 4% dari omzet mereka di negara anggota UE.

Hal ini pun mulai dikeluhkan pengusaha consumer goods Eropa. Union Investment Jerman, salah satu investor teratas di Unilever dan Reckitt, tahun lalu menulis kepada 56 perusahaan consumer goods untuk mencari tahu lebih banyak tentang deforestasi dalam rantai pasokan mereka.

“Denda dapat menjadi risiko bagi kinerja perusahaan-perusahaan ini di pasar saham,” kata Henrik Pontzen, kepala ESG di Union Investment, yang memiliki saham di Nestle, Pepsico, Danone, Beyond Meat, dan L’Oreal, dikitip dariReuters.

Dokumen internal Union Investment yang dilihatReutersmenunjukkan bahwa perusahaan hanya menerima 14 perusahaan yang mengatakan bahwa mereka memiliki operasional tanpa deforestasi.

Jika di flashback, sebelum UU anti-deforestasi UE disetujui, minyak kelapa sawit Indonesia kerap menjadi perdebatan dunia internasional karena isu deforestasi. Misalnya, pada April 2017, parelemn UE mengeluarkan resolusi tantangan minyak kelapa sawit dan deforestasi hutan hujan.

Tujuannya untuk larangan impor barang hasil deforestasi contohnya sawit bersama produk turunannya ke wilayah UE pada 2020.

Dampaknya tentu kepada ekspor minyak sawit mentah Indonesia bisa terpengaruh. Terlebih Uni Eropa menjadi salah satu pasar utama minyak sawit mentah atau CPO dari Indonesia.

Dengan begitu, RI berpotensi merugi sebab permintaan akan CPO di 27 negara tersebut berpeluang menurun, bahkan diberhentikan ekspornya jika para pelaku industri tidak memiliki sertifikat bebas deforestasi.

Pada 2021, Indonesia mengimpor CPO sebesar 44,6% dari total impor Uni Eropa senilai US$ 6,4 miliar, yang berarti senilai US$ 2,85 miliar atau setara dengan Rp 44,5 triliun (asumsi kurs Rp 15.620/US$). Dengan begitu, Indonesia berpotensi kehilangan pemasukan sekitar Rp 44,5 triliun.

Bukan Pertama Kali Terjadi

Untuk melawan WTO, sebenarnya bukan pertama kali. Pertikaian dagang dengan negara lain ini sudah terjadi beberapa kali.

Sumber : CNBC

RELATED ARTICLES

TRANSLATE

- Advertisment -

Most Popular