Sunday, October 13, 2024
HomeAsiaAksi Simpatik PSI menolak sistem perwakilan proporsional tertutup

Aksi Simpatik PSI menolak sistem perwakilan proporsional tertutup


JAKARTA, HUMAS MKRI – Sekitar 30 kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menggelar kegiatan “Aksi Simpatik dan Edukatif terkait Tolak Sistem Pemilu Proporsional Tertutup” di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (8/3/2023) siang. Penyampaian aspirasi ini bersamaan dengan agenda sidang terhadap permohonan Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 dalam pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.

Di bawah komando Furqan AMC selaku Juru Bicara serta Direktur Propaganda dan Advokasi Publik PSI, mereka menggelar aksi dengan tertib. Pada wawancara singkat dengan awak media di depan Gedung MK, Furqan mengatakan aksi dan orasi ini dilaksanakan sebagai wujud penolakan PSI secara tegas atas sistem proporsional tertutup. Dalam aksi tersebut, sejumlah 15 orang kader PSI menutup kepala dengan kardus berwarna hitam dan 15 karung serta boneka kucing sebagai simbol demokrasi yang akan ditutup oleh para elite politik yang menginginkan sistem pemilihan umum di Indonesia dikembalikan pada sistem proporsional tertutup.

“Jadi kotak hitam dan 15 karung beserta kucing-kucingan ini sebagai simbol dan pesan, kami tidak menginginkan sistem proporsional tertutup. Jika proporsional tertutup dipaksakan, maka rakyat akan disuguhi boneka-boneka palsu yang akan menjadi ruang yang menguntungkan sejumlah elite yang menentukan calon-calon legislator secara sepihak dan rakyat tidak punya ruang untuk mengkoreksinya.  Namun jika sistem proporsional terbuka, rakyat bisa terlibat aktif mengakses calonnnya dan mengoreksi siapa pun calonnya. Harapan kami, atas pertarungan yang ada di MK ini yang intinya diperebutkan adalah  hati nurani hakim, maka kami ingin  memperkuat opini dan masukan kepada para hakim dengan menyampaikan aspirasi. Semoga hakim bisa menangkap bahwa publik tidak menginginkan sistem proporsional tertutup,” kata Furqan.

Sebagai informasi, permohonan Nomor 114/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Pemilu diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Para Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.

Saat sidang pendahuluan di MK pada Rabu (23/11/2022), para Pemohon mendalilkan berlakunya norma-norma pasal tersebut yang berkenaan dengan sistem pemilu proporisional berbasis suara terbanyak, telah bermakna dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik dan tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik. Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik namun mewakili diri sendiri. Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.

Selain itu, menurut Pemohon bahwa pasal-pasal a quo telah menimbulkan individualisme para politisi, yang berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik yang bersangkutan. Sebab, proporsional terbuka ini dinilai melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individual total dalam pemilu. Mestinya kompetisi terjadi antarpartai politik di area pemilu. Sebab, peserta pemilu adalah partai politik bukan individu seperti yang termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.

Para Pemohon dirugikan karena pasal-pasal tersebut mengatur sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak karena telah menjadikan pemilu menjadi berbiaya sangat mahal dan melahirkan masalah yang multikompleks. Sistem proporsional terbuka dinilai Pemohon menciptakan model kompetisi antarcaleg dalam pemilu yang tidak sehat karena mendorong caleg melakukan kecurangan termasuk dengan pemberian uang pada panitia penyelenggara pemilihan, sehingga apabila pasal-pasal a quo dibatalkan akan mereduksi praktik politik uang dan membuat pemilu lebih bersih, jujur, dan adil. Di samping itu, sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak ini juga berbiaya tinggi sehingga memakan biaya yang mahal dari APBN, misalnya membiayai percetakan surat suara untuk pemilu anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota. Selain itu, para Pemohon dalam petitumnya meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “terbuka” pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum yang mengikat.

Sumber: mkri

RELATED ARTICLES

TRANSLATE

- Advertisment -

Most Popular