Friday, April 19, 2024
HomeBeritaPemerintah Bentuk Satgas Usut Transaksi Mencurigakan Rp 349 Triliun

Pemerintah Bentuk Satgas Usut Transaksi Mencurigakan Rp 349 Triliun




Pemerintah pada Senin (10/4) mengumumkan akan membentuk satuan tugas untuk mengusut kasus transaksi janggal dengan nilai total Rp349 triliun dalam 14 tahun terakhir terkait Kementerian Keuangan di tengah sorotan terhadap sejumlah pegawai institusi tersebut yang diduga memiliki harta tidak wajar.

Hal tersebut disampaikan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mohammad Mahfud MD  usai memimpin rapat Komite Koordinasi Nasional Tindak Pidana Pencucian Uang (Komnas TPPU), di mana dia adalah ketuanya. Kabar transaksi mencurigakan ratusan triliun itu mencuat ke publik setelah Mahfud mengungkapkan transaksi janggal ditemukan di Kementerian Keuangan, terbanyak di Direktur Jenderal (Ditjen) Pajak dan Ditjen Bea Cukai.

“Komite akan segera membentuk tim gabungan atau satgas yang akan melakukan supervisi untuk menindaklanjuti keseluruhan Laporan Hasil Analisis (LHA) dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dengan nilai agregat lebih dari Rp349 triliun,” ujar Mahfud.

Ia mengatakan tim gabungan ini akan melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan  (PPATK), Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai, Polri, Kejaksaan Agung, Otoritas Jasa Keuangan, Badan Intelijen Negara dan kementerian yang dia pimpin.

“Komite akan melakukan case building dengan memprioritaskan LHP yang bernilai paling besar karena telah menjadi perhatian masyarakat yakni dimulai dari LHP dengan agregat senilai lebih dari Rp 189 triliun,” katanya.

Sebelumnya, Mahfud menjabarkan Rp 189 triliun tersebut diduga berkaitan dengan impor emas batangan. Dalam rapat dengan Komisi III DPR (29/3), Mahfud mengungkapkan dugaan impor emas tersebut dilakukan oleh 15 entitas perusahaan.

Ia menilai impor emas batangan harus dikenakan cukai. Laporan impor emas batangan itu tertulis emas mentah di dalam surat bea cukai, namun dalam temuan PPATK, ternyata emas tersebut merupakan emas jadi yang bernilai lebih tinggi sehingga logam mulia tersebut seharusnya dikenai biaya impor sebesar 5 persen dan pajak penghasilan impor senilai 2,5 persen.

Menurut Mahfud, PPATK telah mendeteksi transaksi mencurigakan sejak 2017 dan melaporkannya ke Kementerian Keuangan. Namun, laporan tersebut tak pernah sampai ke tangan Menteri. Pada 2020, PPATK kembali mengirimkan surat baru namun juga tak kunjung selesai.

Mahfud menegaskan, tidak ada perbedaan data antara yang disampaikannya pada 29 Maret di DPR dengan yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani di Komisi XI pada 27 Maret terkait transaksi mencurigakan karena sumber data yang disampaikan sama, yaitu data agregat.

“Data agregat itu uang keluar masuk, bukan seluruhnya itu nilai yang mutlak. Laporan Hasil Analisis (LHA) PPATK tahun 2009-2023 dianggap beda karena cara klasifikasi dan penyajian datanya saja yang berbeda,” katanya.

Menyangkal

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara pada konferensi pers akhir Maret lalu membantah pihaknya menutupi kasus itu.

“Tidak ada yang ditutupi semua ada dalam sistem Kementerian dan bisa dipantau soal transaksi Rp 189 triliun itu,” kata dia dalam preskon seperti dikutip Kumparan.

Ia mengakui, sejak 2016, Bea Cukai mencegah adanya penyelundupan emas mentah (ingot). “Itu justru distop oleh Bea Cukai, didalami dan dilihat bahwa ini ada potensi tindak pidana kepabeanan, maka ditindaklanjuti hingga pengadilan untuk tindak pidana kepabeanan,” kata Suahasil saat itu.

PPATK dalam pernyataan beberapa hari lalu menyatakan sejak 2003 telah mengendus transaksi mencurigakan Rafael Alun Trisambodo, seorang mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak, dan menuliskannya dalam laporan analisis pada 2012, tapi tidak pernah ditindaklanjuti sampai akhirnya Rafael berstatus tersangka gratifikasi pada 3 April 2023.

Kasus gratifikasi itu sendiri terungkap setelah putra Rafael, Mario Dandy Satrio, yang kerap memamerkan mobil dan sepeda motor mewah, menganiaya seorang remaja hingga koma.

Pihak independen

Direktur Eksekutif Institute for Development Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, menilai seharusnya ada pihak independen dilibatkan agar nantinya bisa mengawal dan memberikan pemikiran independen di luar pemerintah.

“Dia tidak boleh membocorkan hasil sampai bisa diungkapkan ke publik. Harus dipilih yang bisa menyeimbangkan konflik yang terjadi di dalam diantara pemerintah,” kata dia kepada BenarNews.

Sementara, terkait kasus itu sendiri, ia mendorong pemerintah untuk mengusut tuntas sumber masalah di Kementerian Keuangan apakah dari sistem ataupun oknum.

“Kalau sistem berarti harus diperbaiki sistem pengawasan internalnya, sementara kalau oknum harus disanksi sesuai dengan derajat kesalahannya,” kata dia.

Ia memperkirakan dampak ditemukannya transaksi janggal secara berturut-turut di instansi Kementerian Keuangan menyebabkan tingkat kepatuhan terhadap pajak menjadi berkurang dan potensial ekonomi yang hilang sangat besar.

“Penerimaan negara menjadi berkurang dan kepercayaan asing juga berkurang, Mereka jadi takut berinvestasi di Indonesia dan khawatir akan problem yang akan menimpa mereka,” kata dia.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo pekan lalu mendesak parlemen untuk segera menuntaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset dalam upaya memberantas korupsi dan memiskinkan koruptor di Indonesia.

Rancangan undang-undang itu sudah diajukan oleh pihak eksekutif ke Dewan Perwakilan Rakyat sejak 2020 dan dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional pada 2023, tapi belum kunjung dibahas sampai sekarang.

Sumber: Benar News

RELATED ARTICLES

TRANSLATE

- Advertisment -

Most Popular